Ditulis oleh Sasi Andhika Sabilillah (Research and Analysis FPCI Chapter UI Board of 2022) dan Sekar Arifia Prastiwi (Research and Analysis FPCI Chapter UII Board of 2022)
Sejak pendiriannya lebih dari setengah abad lalu, ASEAN masih terus berkembang menjadi organisasi yang besar hingga mampu menggerakkan sendi-sendi kehidupan masyarakat Asia Tenggara. Berbagai pasang surut telah dialami termasuk dalam membuat kebijakan-kebijakan yang diharapkan dapat memakmurkan dan menjaga stabilitas kawasan. Namun, dengan segenap upaya tersebut, tidak menutup kemungkinan masuknya disrupsi baik dari dalam maupun luar Asia Tenggara. Terlebih seiring dengan pesatnya arus globalisasi membuka kesempatan bagi kemunculan kejahatan lintas batas negara yang terorganisasi atau biasa disebut dengan kejahatan terorganisasi transnasional. Kejahatan ini menjadi perhatian dunia karena tidak hanya menciptakan ancaman bagi kawasan regional, tetapi juga keamanan internasional.
Menelaah Arti dan ‘Api’ dari Kejahatan Terorganisasi Transnasional
Kejahatan terorganisasi transnasional merupakan tindakan yang dilakukan oleh sebuah kelompok lintas negara untuk memperoleh antara lain kekuasaan, pengaruh, dan keuntungan finansial dengan cara ilegal. Tindakan tersebut dilakukan dengan sistematis melalui berbagai cara, seperti pembentukan struktur organisasi transnasional, eksploitasi perdagangan transnasional, berbagai pola kekerasan, dan mekanisme komunikasi. Bentuk dari kejahatan terorganisasi transnasional ini bervariasi, dari perdagangan narkotika, penyelundupan dan/atau perdagangan manusia, ‘pencucian’ uang, perdagangan senjata api, perdagangan satwa liar, sampai kejahatan dunia maya. Tindakan-tindakan ilegal ini kemudian memberikan ancaman bagi berbagai aspek, seperti keamanan dan perekonomian, baik secara nasional maupun internasional, juga kerugian pada kesehatan masyarakat yang terjerat di dalamnya, baik secara fisik maupun mental.
Tidak ada ‘asap’ jika tidak ada ‘api’. Terdapat faktor-faktor fundamental yang melatarbelakangi hadirnya tindakan ini, terutama permasalahan ekonomi dan rendahnya pendidikan. Lebih spesifik lagi, menurut Phil Williams (2001), terdapat tujuh faktor utama yang mendorong muncul dan berkembangnya kejahatan terorganisasi transnasional. Pertama, adanya fenomena globalisasi yang membuat negara-negara di dunia menjadi borderless. Hal tersebut membuka potensi bagi organisasi kriminal di negara-negara dengan sistem pemerintahan yang ‘lemah’ dan alternatif pilihan kegiatan ekonomi yang minim untuk membentuk interaksi ilegal guna meraup keuntungan. Kedua, masih berhubungan dengan fenomena globalisasi yang juga mendorong mudahnya mobilitas antarnegara. Maraknya migran yang pindah ke negara lain karena terjadi konflik dan perpecahan serta sulitnya akses ekonomi di negara asalnya. Namun, di negara barunya, ternyata hidup mereka juga tidak selalu menjadi lebih baik, justru menjadi semakin sulit. Hal ini kemudian membuka peluang bagi organisasi kriminal untuk memanfaatkan mereka sebagai sumber daya manusianya. Ketiga, munculnya sistem uang digital megabyte yang terjadi di ranah global. Sistem keuangan ini memungkinan pemindahan uang dengan cepat dan tanpa nama, tetapi tetap dapat digunakan melalui serangkaian instrumen keuangan, seperti derivatif dan futures. Sistem keuangan ini memudahkan organisasi kriminal untuk menyembunyikan keuntungan yang mereka dapatkan dari aktivitas ilegal. Keempat, adanya permintaan yang tinggi terkait produk dan jasa ilegal yang diperdagangkan, seperti narkotika dan perbudakan manusia, merupakan insentif bagi para pelaku. Kelima, tindakan ini meraup keuntungan finansial yang menggiurkan dan terhindar dari biaya-biaya yang perlu dikeluarkan oleh aktivitas legal, seperti pajak yang tinggi. Hal-hal tersebut tentunya membuat tindakan kriminal ini menjadi semakin menjamur. Keenam, adanya criminogenic asymmetries, yakni perbedaan ketegasan hukum dan undang-undang oleh setiap negara dalam menyikapi kejahatan terorganisasi transnasional. Negara dengan aturan yang longgar tentunya akan mendorong organisasi kriminal ini untuk melakukan aktivitas ilegalnya di negara tersebut agar prosesi mereka mendapatkan keuntungan menjadi lebih mudah. Terakhir, adanya perbedaan kemampuan setiap negara dalam mengatasi dan merespons aktivitas ilegal ini. Negara yang cenderung ‘lemah’ dalam merespons kejahatan terorganisasi transnasional memiliki potensi yang lebih besar untuk dieksploitasi oleh organisasi kriminal yang bersangkutan dan membuat aktivitas mereka menjadi semakin berkembang.
Menaklik Spektrum Kejahatan Terorganisasi Transnasional di Asia Tenggara
Data UNODC menunjukkan bahwa penyelundupan narkotika seperti heroin terus dilaporkan menjadi obat kedua yang paling sering diperdagangkan di Asia Tenggara sehingga penyitaan heroin di Myanmar, Thailand, dan Vietnam meningkat pada tahun 2018. Penyelundupan sekitar setengah juta migran terutama dari Myanmar, Kamboja, dan Laos diperkirakan diselundupkan ke Thailand setiap tahun serta dapat menghasilkan pendapatan gelap tahunan antara sebesar US$132 hingga US$196 juta berdasarkan data UNODC. Jaringan penyelundupan migran di Asia Tenggara terkenal cukup mahir dan fleksibel dalam menghindari penegakan hukum. Tidak jauh berbeda dengan kejahatan pencucian uang selama beberapa tahun terakhir, otoritas keamanan Thailand melaporkan telah menyita sejumlah besar uang tunai dari penyelundup Thailand, Kamboja, Laos, dan Myanmar. Kelompok kriminal dengan jaringan di Asia Tenggara juga diketahui mencuci uang dalam jumlah besar melalui sistem perbankan formal di Singapura, Hong Kong, dan Tiongkok.
Agenda Indonesia sebagai Calon Pemimpin ASEAN Tahun 2023
Indonesia diagendakan kembali sebagai pemegang estafet kepemimpinan ASEAN pada tahun 2023 mendatang. Sebelumnya, Indonesia telah tiga kali menjadi Ketua ASEAN, yakni pada tahun 1997, 2003 dan 2011. Pada masa itu, lahirlah beberapa gagasan besar yang mampu menjadi landscape kerja sama ASEAN, oleh karenanya Indonesia dinilai cukup sukses dalam mengemban amanah tersebut. Pada kepemimpinan Indonesia yang keempat kali ini, ASEAN dihadapkan pada kondisi yang cukup sulit dan menantang. Pandemi Covid-19 masih terus berlangsung, masifnya transformasi ekonomi digital, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat akan membuat kepemimpinan Indonesia menemui tantangannya tersendiri.
Sampai saat ini, Indonesia masih belum secara terbuka memaparkan visi-misinya sebagai calon ketua ASEAN 2023. Mengutip dari hasil rapat dengar pendapat yang diselenggarakan oleh Sekretariat Kabinet melalui Kedeputian Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) yang bertajuk “Agenda Prioritas dan Sinkronisasi Kebijakan Menuju Keketuaan Indonesia pada ASEAN Tahun 2023” yang dihadiri oleh Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN, Kementerian Luar Negeri, Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Internasional, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan beberapa kementerian lainnya. Rapat tersebut membahas mengenai pandangan maupun observasi terkait prioritas program-program yang akan dijalankan selama Indonesia menjabat sebagai ketua ASEAN tahun 2023. Terdapat beberapa agenda yang diprediksi menjadi perhatian Indonesia dalam mengambil kebijakan, seperti pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19, krisis pangan dan energi, kesehatan, pendidikan, teknologi, hingga keamanan kawasan.
Agenda Kepemimpinan Indonesia di ASEAN Tahun 2023 untuk Meminimalkan Kejahatan Terorganisasi Transnasional di Asia Tenggara
Kesimpulan
Berkaca dari pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa kejahatan terorganisasi transnasional merupakan aktivitas ilegal lintas negara yang terstruktur dengan sedemikian baiknya dan mengancam negara-negara di berbagai belahan dunia, termasuk kawasan Asia Tenggara. Sebagai pemegang tongkat kepemimpinan ASEAN tahun 2023, sudah sepatutnya Indonesia membuka matanya terhadap perkembangan dari kejahatan terorganisasi transnasional di kawasan Asia Tenggara. Hal tersebut dapat diupayakan melalui pemberian perhatian lebih terhadap fokus-fokus yang ingin diupayakan dalam agenda kepemimpinannya yang secara tidak langsung berhubungan dengan upaya meminimalkan kejahatan terorganisasi transnasional, yakni pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19 dan pendidikan.