CORE #2: Peluncuran Indo-Pacific Economic Framework dan Potensi Pengembangan Ekonomi Indonesia

Ditulis oleh Stephanie Dinda Iskandar (Research and Analysis FPCI Chapter UI Board of 2022) dan Muhammad Nailul Fathul Wafiq (Research and Analysis FPCI Chapter UII Board of 2022)

Diplomasi Indonesia di kawasan Indo-Pasifik

Dalam dekade terakhir pembahasan Indo-Pasifik menjadi sebuah topik yang hangat untuk dibicarakan. Didasari dari letak geografis yang strategis dan memiliki peluang ekonomi yang besar bagi internasional. Konsep Indo-Pasifik sebagai sebuah kawasan muncul sejak tahun 1920 oleh ahli geopolitik Jerman, Karl Haushofer, dalam tulisan akademiknya “Indopazifishen Raum”. Istilah itu semakin dikenal pada tahun 2007 oleh seorang mantan Executive Director of National Maritime Foundation (NMF) yaitu Gurpreet S. Khurana dari New Delhi, India pada tulisan akademiknya yaitu “Security of Sea Lines: Prospects for India-Japan Cooperation” dan menjadikan konsep Indo-Pasifik semakin dikenal dan digunakan di kancah Internasional (Khurana, 2017).

Kawasan Indo-Pasifik sendiri meliputi Samudera Pasifik, Samudera Hindia, Benua Asia, Benua Australia dan Asia tenggara (Montratama. 2016). Dengan Indonesia yang terletak persis di tengah kedua Samudera Hindia dan Pasifik, menjadikan Indonesia sebagai aktor penting dalam gerakan Indo-Pasifik. Pemerintah Indonesia juga mulai aktif menunjukan inisiatif dalam konstruksi geostrategi baru di kawasan Indo-Pasifik sejak tahun 2013 lewat berbagai diplomasi baik dalam hubungan bilateral maupun regional, dan dilihat sebagai signaling emerging power oleh beberapa negara (Shakhtar, 2018). 

KTT ASEAN sebagai forum tahunan negara-negara ASEAN juga tak luput dari rencana Indonesia dalam melebarkan sayap di Indo-Pasifik. Tepat di KTT ke-33 ASEAN 2018, Presiden Jokowi menguraikan pentingnya Indo-Pasifik dan sentralitas ASEAN dalam pidatonya. Jokowi juga menekankan ASEAN mengembangkan kerja sama dengan kawasan Indo-Pasifik dengan tetap mengedepankan prinsip keterbukaan, inklusivitas, transparansi, hukum internasional, dan sentralitas ASEAN.

Sikap Indonesia yang aktif dapat menggambarkan betapa pentingnya kawasan Indo-Pasifik bagi keamanan maupun perekonomian Indonesia. Hadirnya negara-negara besar seperti Jepang, Korea Selatan, India, Tiongkok, Australia, Amerika Serikat dan Rusia di kawasan tersebut memberikan efek besar bagi perekonomian internasional; tercatat GDP Indo-Pasifik menyentuh angka 50% GDP dunia dan 60% populasi global hidup di kawasan tersebut (Priatna. 2019). Indonesia menghasilkan 1.05 Triliun US Dollar terhitung pada tahun 2020. Dengan posisi pertama diduduki oleh Amerika serikat dengan total 20.89 Triliun US Dollar, disusul Tiongkok di posisi kedua dengan total 14.72 US Dollar (World Bank. 2020).

Beberapa kerja sama ekonomi telah terbentuk di kawasan Indo-Pasifik, dimulai dari APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) yang menghubungkan 21 negara di kawasan tersebut bertujuan sebagai forum kerjasama ekonomi antarnegara kawasan mengenai tarif dan keamanan. Selain itu juga ada TPP (Trans Pacific Partnership) pada tahun 2016 dan forum  terbaru di tahun 2020 yaitu RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) merupakan forum kerjasama ekonomi regional yang dicanangkan Tiongkok. Lantas dengan banyaknya kerja sama yang ada, belum dapat memaksimalkan potensi kawasan Indo-Pasifik hal ini didasari dari kepentingan setiap negara (national interest) yang berbeda-beda sehingga membuat kerja sama gagal terlaksana. Ekonomi global yang memburuk pasca terjadinya Covid-19 memaksa negara-negara untuk lebih aktif dalam bekerja sama memastikan pemulihan dan kemajuan ekonomi domestik didasari atas ketahanan, keberlanjutan dan inklusivitas. Kerjasama regional yang terjalin dapat menekan pentingnya daya saing ekonomi dalam bekerja sama antar negara, mengamankan rantai pasokan diiringi pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19.  Salah satu solusi yang dapat diharapkan adalah lewat terbentuknya kerjasama baru di kawasan Indo-Pasifik yaitu Indo Pacific Economy Framework.  

Indo-Pasific Economy Framework

Indo Pacific Economy Framework atau IPEF merupakan gagasan yang dicanangkan Amerika Serikat dibawah kepresidenan Joe Biden. Menggabungkan ekonomi negara di kawasan Indo-Pasifik agar dapat bekerja sama memajukan pertumbuhan ekonomi abad 21 yang adil, makmur dan modern. Tepat pada tanggal 23 Mei 2022, dirilis Indo Pacific Economy Framework di Tokyo oleh Presiden Amerika Serikat Joe Biden. Sebuah kerangka kerjasama ekonomi baru di kawasan Indo-Pasifik yang menggabungkan 12 negara di dalamnya yaitu Amerika Serikat, Jepang, India, Australia, Selandia Baru, Korea Selatan, Indonesia, Filipina, Vietnam, Malaysia, Singapura dan Thailand dengan total keseluruhan pendapatan anggota mencapai angka 40% GPD global.

Terbentuknya IPEF menandakan dominasi serta kepemimpinan Amerika Serikat terhadap ekonomi Asia belumlah berakhir. AS memiliki hasrat tersendiri dengan dibentuknya IPEF, yaitu demi menahan laju ekonomi dan kendali Tiongkok di Indo-Pasifik. Namun pemerintahan Amerika Serikat terkhusus Presiden Joe Biden berkomitmen agar hubungan dan kerjasama ini berjalan pada jangka waktu yang panjang untuk memperjuangkan visi dan misi bagi perekonomian yang adil, makmur dan berkembang bersama para mitranya di kawasan Indo-Pasifik. 
 
Dalam pembentukannya Indo Pacific Economy Framework memiliki empat pilar utama dalam menjalankan kerjasama regionalnya, keempat pilar tersebut adalah :
  1. Perdagangan: Aturan yang mengatur perdagangan akan mendorong pergerakan ekonomi digital dan dalam praktik perdagangan yang mapan, inklusif, bebas beserta adil serta sejalan dengan pratik ekonomi berkelanjutan
  2. Menguatkan rantai pasok :  Meningkatkan hubungan kerjasama yang transparan, beragam dan berkelanjutan ditambah dengan sistem keamanan dagang yang terjamin. Bertujuan agar mitra dagang dapat terintegrasi dengan lebih baik.
  3. Energi bersih dan Dekarbonisasi: Sejalan dengan Paris Agreement, kerja sama baru akan lebih memperhatikan kebersihan lingkungan, mengurangi penggunaan sumber daya berlebihan & lebih mengutamakan penggunaan sumber daya alternatif,  membangun ketahanan global terhadap dampak iklim, dan mendukung pengembangan infrastruktur berkelanjutan (SDGs)
  4. Perpajakan dan Anti Korupsi: IPEF mendorong persaingan yang bersih serta taat pajak, mengekang penghindaran pajak dan korupsi, menekan segala tindak kecurangan dalam perdagangan di kawasan Indo Pasifik.
Bentuk forum yang lebih modern menjadi dasar pembentukan Indo Pacific Economy Framework. Lewat Perwakilan Kementerian Dagang Amerika Serikat Katherine Tai, AS berjanji akan bekerjasama dengan mitra dengan memberi bantuan dari mulai teknologi fasilitas perdagangan, akses pasar, pengaturan dan praktik kerja di lapangan, yang diharapkan dapat membantu laju perekonomian modern di kawasan Indo-Pasifik berfokus pada pemanfaatan teknologi, mempromosikan inovasi, mengembangkan ekonomi digital, serta penggunaan energi yang ramah lingkungan, sesuai dengan tujuan SDGs dan Paris Agreement.
 

Peranan Indonesia di Indo-Pacific Economy Framework (IPEF)

Kekuatan Indonesia sebagai salah satu tiang penyangga ASEAN memiliki pengamanan posisi pada daya tawar yang tinggi untuk bisa mengoptimalkan kesempatannya demi memenuhi kepentingan nasional dalam negeri. Hubungan regional ini digadang-gadang sebagai pusat sumber kontributor perekonomian dunia terbesar di 30 tahun mendatang (U.S. Consulates, 2022). Ditambah lagi, agenda yang dibawakan oleh Indo-Pasifik sejalan dengan objektif Poros Maritim Dunia (PMD) yang dicanangkan oleh Indonesia secara spesifik di tahun pertama (2014) kepemimpinan Presiden Jokowi (Verico, 2021). Dalam hal ini, jajaran pemerintah Indonesia perlu cermat dalam mengabstraksikan segala bentuk kebijakan publik, termasuk di antaranya keputusan yang mengacu pada ranah internasional. Penyikapan ini tidak lain dimaksudkan agar segala keluaran pertimbangan yang di forumkan merupakan murni padatan artikulasi keberpihakan negara atas nama humanisme masyarakat yang representatif.
 
Sektor perekonomian menjadi jantung dari kerangka kerja sama yang dirintis oleh Indo-Pasifik. Berangkat dari esensi ini, Indonesia dapat memanfaatkan turunan programnya sebagai batu loncatan untuk proses pengembangan UMKM yang semakin dilirik di pasaran nasional bahkan internasional sekalipun (Yuliani, 2020) . Fakta tersebut dapat ditinjau dari capaian Indonesia di pengelolaan besar-besaran digital e-commerce. Cina melihat trend ini sebagai media andalan sekaligus peluang untuk memperdagangkan produk lokalnya ke berbagai negara. Statistik dunia mengkuantifikasikan Cina dengan angka aktivitas yang tinggi meraup keuntungan di usaha kooperatif startup yang kerap digandrungi di Indonesia juga, seperti Shopee, Lazada, Tokopedia, Bukalapak, dan Blibli hingga berhasil menyumbang GDP sebesar 1,99% di tahun 2018 (Statistic Department Research, 2014). Lantas, sensitivitas Amerika Serikat pun bergejolak melihat saingannya bermanuver demikian kencangnya.
 
Menarik pula jika menganalisis program Indo-Pasifik dari segi agenda ketenagakerjaannya. Pemerintah Indonesia tengah bersikukuh untuk mengembalikan kedudukan ketenagakerjaannya ke level tertinggi di kancah internasional melalui penggenjotan program Pekerja Migran Indonesia (PMI) (Wahyudi, 2021). Di lingkup ASEAN pun Indonesia masih harus bersusah payah untuk berkontestasi dengan Vietnam sebagai saingan terberatnya. Hal ini disebabkan komoditas unggulan yang dimilikinya cenderung sama, sehingga negara lain melihat hadirnya bahan komparasi yang mendorong pelemahan ketertarikan untuk memilih Indonesia sebagai kolaborator tenaga kerja berkualitas (Tempo.co, 2019). 
 
Pemerintah bisa mempertimbangkan asas utilitas dan peluang yang ada sebagai angin segar dalam rangka menyeimbangkan kapasitas ketenagakerjaan di lingkup ASEAN atau bahkan lebih besar. Sebab nyatanya, poin agenda ini ternyata tidak cukup menarik perhatian bagi India dan Vietnam yang merasa bersilangan pendapat terkait beberapa klausul penandatangan ketenagakerjaan, misalnya: lokalisasi data ketenagakerjaan, peleburan standar kualitas pekerja di multilevel internasional, dan kontrol terhadap komoditas ekspor yang dapat berimplikasi pada pemangkasan jumlah tenaga kerja sehingga menghambat situasi surplus produk yang seharusnya mampu mendatangkan benefit bagi negaranya (Singh, 2022).
 
Kondisi pandemi menjadi titik tolak Indonesia untuk mengejar kematangan social security. Dua agenda perekonomian utama yang ditawarkan Indo-Pasifik ini adalah ketangguhan ekonomi (resilient economy) dan konektivitas ekonomi (connected economy). Setidaknya dalam urusan produktivitas rantai persediaan (supply chain) bisa diperkuat dengan memperlancar perputaran komoditas lintas negara, khususnya penyediaan materi yang terbilang langka di maupun kawasan terdekatnya. Namun, stabilitas rotasi tersebut hanya mampu terealisasi apabila diiringi dengan sistem perekonomian yang integratif melalui penyatuan tujuh komponen utama dalam konstruksi ekonomi (Arasasingham, et al, 2022). Tentu hal ini akan menjadi langkah yang tepat untuk bisa mengoperasikan roda kesejahteraan masyarakat global hingga ke tingkat domestik secara efektif dan efisien. Dengan demikian, diharapkan presensi Indo-Pasifik dapat berbuah manis bagi Indonesia dalam menghadapi kondisi krisis di masa yang mendatang dengan minimal sudah memiliki safety net.
 
Sisi lain IPEF bagi negara berkembang adalah timbulnya pemikiran asumtif dari beberapa negara anggota Indo-Pasifik  karena merasa dilecehkan hak berpendapatnya dalam meja perundingan. Umumnya, forum kerjasama regional mengusahakan adanya relasi seimbang antara pihak yang berkepentingan sehingga jalan tengah dapat ditempuh dengan konsep win-win solution. Inilah yang disebut sebagai tradisi negosiasi. Sedangkan komunikasi yang terjadi antara AS dan negara rekan hanya bersifat satu arah. Absensinya jalur diskusi yang non reseptif pun bermuara pada pilihan kaku yang biasa orang barat sebut seperti “take it or leave it” (Goodman & Arasasingham, 2022). AS tidak menunjukkan gestur yang mengayomi dan merangkul kepada negara yang berpandangan berbeda daripadanya.
 
Alhasil, oleh karena minimnya proporsionalitas dalam proses kompromi antara pihak, ada banyak pasal misi dari kerangka ekonomi yang problematik dan cenderung bersifat menggantung. Pertama, ambisi AS untuk mengajak negara lain mulai bergerak menuju energi bersih. Lantas, hal ini menjadi dilematis perkara negara Indo-Pasifik belum semuanya tergolong sebagai negara maju. Daya beli mereka untuk membeli dan merancang berbagai infrastruktur modern belum cukup mumpuni (Goodman & Arasasingham, 2022). Selain itu, ketertinggalan kualitas sumber daya manusia (SDM) untuk mengelola energi ramah lingkungan juga menjadi faktor inertia negara berkembang di dalam IPEF. Beberapa permasalahan terkait energi berkelanjutan tersebut masih tergambar dari acuan kondisi Indonesia yang bahkan masih meninggalkan perdebatan terkait nomenklatur tumpang tindih RUU EBT dan UU Minerba (Alkalis, 2021). Kendati demikian, ajakan ambisius AS ini bisa menjadi tamparan bagi pemerintah untuk berpikir lebih visioner terkait kesiapan negara dalam hal kontribusi agenda ‘kehijauan’ ini.
 
Kedua, ketidakseriusan AS dalam merajut hubungan dengan negara anggota Indo-Pasifik juga terselip dari sikap yang diperlihatkannya. AS cenderung lambat dalam menindaklanjuti kesepakatan di Oktober 2021 kemarin. Cetak biru terkait aksi nyata tidak kunjung menampakkan batang hidungnya setelah diabaikan hingga setengah tahun. Bahkan AS juga tidak menunjukkan sikap transparan dari segi administratif. Semua hal yang bersinggungan dengan pengecapan resmi berkas-berkas terkonsentrasi pada kantor AS. Hubungan yang tidak sehat tersebut dapat menggiring Indo-Pasifik pada penurunan kualitas daya tahan dalam konteks durasi (Goodman & Reinsch, 2022). Jika tidak segera direparasi, maka ada probabilitas Indo-Pasifik akan dibekukan bahkan menuntun pada rivalitas yang menegang dari waktu ke waktu.
 
Indonesia harus mengawal segala bentuk kontrak perjanjian sosio-ekonomi di badan Indo-Pasifik, khususnya saat dihadapkan dengan kepentingan AS secara kontinu, terutama dalam mendifusikan agenda AS dengan kawasan ASEAN yang menitikberatkan pada konsep “Doughnut Economy” dalam segala dimensi kerangka program, baik secara internal maupun eksternal. Indonesia sebagai salah satu negara pionir ASEAN bisa menuntut aksi elaboratif langkah strategisnya kepada AS. Tidak hanya tertuang dalam kerangka kerja, tetapi sudah mengarah pada visualisasi yang lebih terstruktur dan prospektural untuk diimplementasikan. Harapannya AS pun tergerak untuk merasionalisasikan bentuk kebermanfaatannya secara konkret, berwujud fisik. Pemerintah Indonesia dapat memainkan tali utama dari permainan power interplay yang bergejolak di kawasan interseksi ini. Indonesia memegang bola panas yang dapat menggiring pengadaan forum untuk bisa merangkap kedua poros adidaya di dunia dengan kuat dan konstan.
 

References

Alkalis, G. (2021, February 5). ADPPI Sebut RUU EBT Ciptakan Tumpang Tindih Regulasi » Berita energi & Minerba Hari Ini. RuangEnergi.com. Retrieved July 3, 2022, from https://www.ruangenergi.com/adppi-sebut-ruu-ebt-ciptakan-tumpang-tindih-regulasi/
Arasasingham, A., Benson, E., Goodman, M. P., & Reinsch, W. A. (2022, May 23). Unpacking the Indo-Pacific Economic Framework Launch | Center for Strategic and International Studies. Center for Strategic and International Studies |. Retrieved July 3, 2022, from https://www.csis.org/analysis/unpacking-indo-pacific-economic-framework-launch
Filling In the Indo-Pacific Economic Framework | Center for Strategic and International Studies. (2022, January 26). Center for Strategic and International Studies |. Retrieved July 1, 2022, from https://www.csis.org/analysis/filling-indo-pacific-economic-framework
Statista Research Department. (2014, March 5). • China: B2C e-commerce as percentage of GDP 2009-2018. Statista. Retrieved July 3, 2022, from https://www.statista.com/statistics/324602/b2c-e-commerce-as-percentage-of-gdp-china/
Tenaga Kerja Indonesia Kalah dari Vietnam, Apa Sebab? (2019, July 23). Bisnis Tempo.co. Retrieved July 1, 2022, from https://bisnis.tempo.co/read/1227595/tenaga-kerja-indonesia-kalah-dari-vietnam-apa-sebab
U.S. Embassy & Consulates. (2022, May 25). FACT SHEET: In Asia, President Biden and a Dozen Indo-Pacific Partners Launch the Indo-Pacific Economic Framework for Prosperity. US Embassy and Consulates in Indonesia. Retrieved July 3, 2022, from https://id.usembassy.gov/fact-sheet-in-asia-president-biden-and-a-dozen-indo-pacific-partners-launch-the-indo-pacific-economic-framework-for-prosperity/
Verico, K. (2021, November 6). How Indonesia Sees the Indo-Pacific Economic Architecture. National Bureau of Asian Research. Retrieved July 3, 2022, from https://www.nbr.org/publication/how-indonesia-sees-the-indo-pacific-economic-architecture/
The What, How and Why of the Indo-Pacific Economic Framework. (2022, May 27). The Wire. Retrieved July 1, 2022, from https://thewire.in/economy/the-what-how-and-why-of-the-indo-pacific-economic-framework

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *